Saturday, October 24, 2020

KONSEP DAN REGULASI HAK PENGUASAAN DAN MILIK ATAS TANAH ADAT DI BALI

 

KONSEP DAN REGULASI HAK PENGUASAAN DAN MILIK ATAS TANAH ADAT DI BALI

BAB I PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia. Tanah mempunya i hubungan yang erat dengan manusia, hubungan ini seperti halnya anak dan ibu karena tanah merupakan ibu pertiwi, maka dari itu manusia harus tetap menghormati, menjaga dan melestarikan tanah tersebut. Segala aktifitas keseharian manusia pada umumnya dan sebagaian terbesar dilakukan diatas tanah, termasuk setelah manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir atau dikremasi diatas tanah dan menjadi tanah. . Lebih-lebih jika dilihat dari sudut ekonomis, tanah mempunyai nilai ekonomis tinggi baik sebagai kebutuhan rumah tinggal, tempat usaha, bahkan sudah menjadi komuditi investasi yang menggiurkan, dengan nilai jual semakin hari semakin tinggi bahkan melambung tinggi. Karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, maka tanah sangat tinggi kecendrungnya menjadi objek sengketa.

Disahkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih lanjut disebut UUPA pada tanggal 24 September 1960, yang kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia, yaitu sebagai salah satu upaya mewujudkan unifikasi hukum dalam bidang pertanahan, walaupun unifikasi tersebut dapat dinyatakan bersifat unik, karena masih memberikan kemungkinan berlakunya hukum adat dan agama.

Hubungan fungsional antara UUPA dengan hukum adat relevan dengan kondisi Negara Indonesia yang bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras dan multi golongan. Juga relevan dengan sesanti Bineka Tunggal Ika yang secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia7 (yang selanjutnya disebut NKRI). Jadi warna pluralisme hukum tampaknya masih mendapat tempat, dibina dan dikembangkan.

Antara UUPA dengan hukum adat akan berfungsi saling melengkapi (inter complementer) dan Saling menguntungkan (Simbiosis Mutualisme) dalam upaya mengisi kekosongan hukum yang ada.

Kenyataannya dalam beberapa kasus sengketa tanah yang ada dan terus terjadi di Bali sampai saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA sebagai hukum negara  di satu sisi dengan hukum adat sebagai hukum rakyat di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan perlindungan hak ulayat khususnya mengenai hak penguasaan dan pemilikan atas tanah adat oleh persekutuan hukum yang disebut desa adat.

Pada tahun ini pemerintah daerah Bali mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat, Menurut Gubernur Koster, Perda ini secara garis besar mengatur secara fundamental dan komprehensif mengenai berbagai aspek berkenaan dengan desa adat di Bali untuk menguatkan kedudukan, kewenangan, dan peran desa adat Melalui Perda ini, kata dia, desa adat mempunyai otonomi yang berwenang mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Perda ini memberikan perlindungan hukum terhadap hak penguasaan dan pemilikan atas tanah masyarakat hukum adat, yaitu desa adat.

 

1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah konsep dan regulasi hak penguasaan dan pemilikan  atas tanah-tanah adat di Bali ?

2.      Bagaimanakah penyelesaian sengketa terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah ?

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II PEMBAHASAN

 

2.1  Konsep Penguasaan dan Pemilikan

Menurut Satjipto Rahardjo dinyatakan bahwa dalam penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Artinya secara faktual adanya hubungan nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaan, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Sedangkan sikap batin artinya adanya maksud  untuk menguasai atau menggunakannya[1]

Menurut rumusan Pasal 529 BW ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya kedudukan berkuasa atau hak menguasai memberikan kepada pemegang haknya kedudukan berkuasa tersebut kewenangan untuk mempertahankan atau menikmati benda yang dikuasai tersebut sebagaimana layaknya seorang pemilik.153 Oleh karena itu, atas suatu benda yang tidak diketahui pemiliknya secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai pemilik dari kebendaan tersebut

Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah  yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah, seperti antara Hak Milik dengan Hak Guna Usaha

Pemilikan mempunyai sosok yang lebih jelas dan pasti. Menurut Fitgerald, ciri hak-hak dalam pemilikan, yakni:

(1)      Pemilik mempunyai hak memiliki barangnya. Ia mungkin tidak memegang atau menguasai barang tersebut, oleh karena barang tersebut mungkin telah direbut daripadanya oleh orang lain. Sekalipun demikian, hak atas barang itu tetap ada pada pemegang hak semula;

(2)      Pemilik biasanya mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati barang yang dimilikinya, yang pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap barangnya;

(3)      Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau mengalihkan barangnya. Pada orang yang menguasai suatu barang, hak untuk mengalihkan itu tidak ada padanya karena adanya asas memo dat quod non habet, oleh karena si penguasa tidak mempunyai hak dan karenanya juga tidak dapat melakukan pengalihan hak kepada orang lain;

(4)      Pemilikan tidak mempunyai ciri yang tidak mengenal pembatasan jangka waktu. Ciri ini sekali lagi membedakan dari penguasaan, oleh karena yang disebut terakhir terbuka untuk penentuan lebih lanjut di kemudian hari, sedang pada pemilikan secara teoritis berlaku untuk selamanya;

(5)      Pemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa. Seorang pemilik tanah dapat menyewakan tanahnya kepada A, memberikan hak untuk melintasi tanahnya kepada B, dan kepada C memberikan hak yang lain lagi, sedang ia tetap memiliki hak atas tanah itu yang terdiri dari sisanya sesudah hak-haknya itu ia berikan kepada mereka itu. Dibandingkan dengan pemilik hak untuk melintasi tanah itu, maka hak dari pemilik bersifat tidak terbatas. Di sini akan dinyatakan, bahwa hak yang pertama bersifat menumpang pada hak pemilik yang asli dan keadaan ini disebut sebagai ius in re aliena.

Dalam Pasal 570 Burgerlijk Wetboek dapat dinyatakan bahwa makna yang dikandung dalam Hak milik, yaitu sebagai hak yang paling utama dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya, karena pemilik mempunyai kebebasan untuk menikmati, menguasai, menggunakan benda yang dimilikinya dengan bebas sepanjang tidak bertentangan dengan norma yang ada, dalam batas upaya memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar. Dengan demikian penguasaan yang dimaksudkan adalah pemilik hak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap barang miliknya, seperti memelihara, membebani dengan hak kebendaan lainnya, memindahtangankan, mengubah bentuknya.

Konsepsi di atas menunjukkan, bahwa dalam pemilikan terkandung makna penguasaan di dalamnya, sedangkan dalam penguasaan belum tentu  terkandung makna pemilikan.

2.2  Penguasaan dan kepemilikan tanah adat di Bali

Jika dilihat dari Pasal 4 ayat 1 UUPA, Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pasal 4 ayat 1 UUPA ini terkait dengan ketentuan Pasal 21 UUPA yang menentukan sebagai berikut:

(1)   Hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.

(2)   Oleh pemerintah ditetapkan badanbadan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya

Jika melihat Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 tentang badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah. Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah :

a.       Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);

b.      Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-undang Nomor 79 tahun 1958 (Lembaran Negara 1958 Nomor 139)

c.       Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Mentri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Mentri Agama;

d.      Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Mentri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Mentri Kesejahteraan Sosial

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, jelaslah bahwa desa pakraman tidak termasuk sebagai subjek hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.

Dalam Perda Provinsi Bali nomor 4 tahun 2019, Desa Adat berstatus sebagai subyek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali.

Unsur pokok Desa Adat terdiri atas Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan yang merupakan perwujudan dari filosofi Tri Hita Karana. Palemahan Desa Adat meliputi tanah milik Desa Adat dan tanah guna kaya yang bersifat komunal atau individual. Tanah Desa Adat memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi. Tanah guna kaya memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi bagi pemiliknya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial hak atas tanah.

Tanah adat di Bali disebut dengan istilah Padruwen Desa Adat. Berkaitan dengan tanah druwe desa kalau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia berati “tanah milik desa” yaitu “tanah milik desa adat”. Tanah milik Desa Adat didaftarkan atas nama Desa Adat. Padruwen Desa Adat meliputi seluruh harta kekayaan milik Desa Adat baik yang bersifat inmateriil maupun materiil. Padruwen Desa Adat yang bersifat inmateriil berupa sistem kepercayaan, nilai-nilai tradisi, adat, seni dan budaya, serta kearifan lokal yang dijiwai Agama Hindu. Sedangkan Padruwen Desa Adat yang bersifat materiil dapat berupa:

a.       wewidangan Desa Adat;

b.      tanah Desa Adat;

c.       sumber daya alam;

d.      sumber ekonomi yang merupakan hak tradisional Desa Adat;

e.       kawasan suci, tempat suci, bangunan suci milik Desa Adat;

f.       bangunan-bangunan milik Desa Adat;

g.      benda-benda yang bersifat religius magis;

h.      keuangan dan sarwa mulé; dan

i.        harta kekayaan materiil lainnya.

Perubahan status hak dan fungsi atas tanah Desa Adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan. Perubahan status sebagaimana dimaksud, didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah-tanah adat di Bali, sebagaimana disebutkan diatas adalah tanah milik kesatuan masyarakat hukum adat, krama desa ( anggota masyarakat desa) dengan kewajiban ngayah desa termasuk semua kewajiban terhadap Kahyangan Desa, ataupun tanah desa adat yang dikuasai langsung oleh desa adat.

Pengakuan tanah adat sebagai tanah ulayat desa di Bali, dalam UUPA lebih tegas lagi dapat dilihat dalam Pasal II Ketentuanketentuan Konversi yang menyebutkan:

2.                  Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak-hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai yang dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu: hak agraris eigendom, milik yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang itu menjadi hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat 1 kecuali yang mempunyai tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam Pasal 21.

3.                  Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaran Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 menjadi hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraris.

 

2.3  Penyelesaian Sengketa

A. Teori Konflik 

      Sebagian besar sengketa mau tidak mau harus dimohonkan penyelesaian melalui lembaga peradilan bentukan negara apalagi dalam pelaksanaan putusannya akan dikawal oleh lembaga kepolisian, sehingga tampaknya lebih dapat memenuhi rasa kepastian hukum. Berbeda dengan putusan Kepala adat yang hanya mempunyai daya berlaku mengikat secara lokal, yang kadang-kadang tidak disertai dengan adanya kekuatan hukum yang pasti terhadap pelaksanaannya, karena tidak mempunyai pengawal yang kuat dan tangguh seperti halnya dengan peradilan negara, karena semuanya itu dikembalikan kepada komitmen dari warga masyarakat itu sendiri terutama pada rasa keadilannya.

Soerjono Soekanto menegaskan, bahwa terdapat teori model konflik bagi suatu masyarakat, yaitu model konflik yang memiliki anggapan dasar seperti:

1.      Ciri yang melekat pada setiap masyarakat adalah proses perubahan;

2.      Pada setiap masyarakat terdapat konflik dan hal tersebut merupakan gejala yang wajar.

3.      Pada setiap bagian dari masyarakat terdapat peluang untuk terjadinya disintegrasi da perubahan-perubahan sosial.

4.      Adanya sejumlah orang yang mempunyai kekuasaan merupakan faktor integrasi yang penting.

5.      Pengendalian konflik dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial tertentu yang berfungsi untuk menciptakan akomodasi[2]

      Dalam konflik ( conflict ) mengandung adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama, sehingga timbul rasa tidak puas atau menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Jika rasa tidak puas ini secara langsung dinyatakan kepada orang yang menyebabkan kerugian, maka sebuah konflik akan menjadi sengketa. Jadi konflik akan berkembang menjadi sengketa jika tidak dapat diselesaikan

B. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan

      Pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai opsi dalam memilih prosedur, lembaga dan model penyelesaian mengenai sengketanya. Salah satu lembaga yang secara formal dianggap paling representatif dapat menyelesaikan suatu sengketa adalah lembaga pengadilan, baik yang ada dalam lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan meliter,  peradilan agama, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Demikian ditegaskan dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

      Pemilihan peradilan negara sebagai lembaga formal tampaknya juga dipengaruhi oleh adanya penghapusan peradilan adat yang dulu pernah ada di seluruh  masyarakat hukum adat di Indonesia berdasarkan UU Darurat diungkapkan David F. Greenberg: “Downward law is greater than upward law”. Dari kondisi ini banyak orang merasa prihatin jika dihadapkan dengan sengketa yang ditangani lembaga peradilan karena mereka meragukan apakah akan mampu mendapat kepastian dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri[3]

C. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan

      Studi tentang alternatif penyelesaian sengketa atau yang sering dikenal dengan alternative dispute resolution (yang selanjutnya disingkat ADR) di Indonesia dianggap  menarik dan penting jika dikaitkan dengan pandangan kelompok elite politik bangsa Indonesia dan pemikiran sebagian pakar hukum Indonesia yang ingin mengaktualisasikan berbagai institusi atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hukum adat untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan bangsa Indonesia masa kini. Musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan proses penyelesaian sengketa dan pengambilan Keputusan yang dianggap berakar pada berbagai masyarakat hukum adat[4]

      Di Indonesia gaya prosedur penyelesaian sengketa ini kemudian diberi bentuk hukum melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

D. Penyelesaian Sengketa Secara Konkret

      Penyelesaian sengketa yang melibatkan masyarakat hukum adat, di samping dipergunakannya salah satu alternatif penyelesaian sengketa seperti tersebut di atas, maka ada hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu dengan selalu memperhatikan sifat konkret dari hukum adat itu sendiri. Artinya hukum adat sangat memperhatikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap soal tidak sama dengan soal yang lainnya sekalipun serupa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus sesuai dengan individualisasinya tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara apriori, akan tetapi selalu situasional dan individual.[5]

Model penyelesaian sengketa ini perlu diungkapkan, dengan mengingat, bahwa masyarakat hukum adat saat ini dalam menyelesaikan masalahnya cenderung mengabaikan kearifan lokal yang ada, namun justru lebih memilih model litigasi yang membawa konsekuensi munculnya rasa permusuhan karena ada unsur kalah menang yang dikemas untuk mencari keadilan.

 

 

 

BAB III PENUTUP

 

Kesimpulan

Tanah adat di Bali disebut dengan istilah Padruwen Desa Adat. Berkaitan dengan tanah druwe desa kalau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia berati “tanah milik desa” yaitu “tanah milik desa adat”. Tanah milik Desa Adat didaftarkan atas nama Desa Adat. Perubahan status hak dan fungsi atas tanah Desa Adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan. Perubahan status sebagaimana dimaksud, didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. bahwa tanah-tanah adat di Bali, sebagaimana disebutkan diatas adalah tanah milik kesatuan masyarakat hukum adat, krama desa ( anggota masyarakat desa) dengan kewajiban ngayah desa termasuk semua kewajiban terhadap Kahyangan Desa, ataupun tanah Desa Adat yang dikuasai langsung oleh Desa Adat.

      Penyelesaian suatu sengketa dilakukan dengan 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan, Pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai opsi dalam memilih prosedur, lembaga dan model penyelesaian mengenai sengketanya. 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Di Indonesia gaya prosedur penyelesaian sengketa ini kemudian diberi bentuk hukum melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 3. Penyelesaian Sengketa Secara Konkret, meto penyelesaian sengketa ini yaitu, Penyelesaian sengketa yang melibatkan masyarakat hukum adat, di samping dipergunakannya salah satu alternatif penyelesaian sengketa seperti tersebut di atas, maka ada hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu dengan selalu memperhatikan sifat konkret dari hukum adat itu sendiri.

 

Saran

Walaupun akhirnya hak penguasaan desa adat bersumber pada hak bangsa, tidak harus diinterpretasikan bahwa hukum negara adalah superior tapi tetap dalam harmoni dan berkoeksistensi untuk dapat saling melengkapi, sehingga hak penguasaan desa adat masih dapat dilakukan terhadap tanah-tanah adat dalam wilayah kekuasaannya seperti yang di suratkan dalam awig-awig-nya dan selanjutnya dapat diberikan tempat (dicari padanannya) dalam UUPA

DAFTAR PUSAKA

Suasthawa Dharmayuda.,  I Made,  2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Bali di Propinsi Bali, Upada Sastra, Cetakan Pertama, Denpasar

Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.

Putu Wirata Dwikora. 2003. Peradilan Dagelan, Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa.

David F. Greenberg. 1983. “Donald Black’s Sociology of Law: A Critique”. Law and Society Review. 17 (2). P. 357

Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian  Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta.

H. Moh. Koesnoe. 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum. Bagian I (Historis), Cetakan I, Penerbit Mandar Maju. Bandung. 

Boedi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan PeraturanPeraturan  Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta;



[1] Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. Hal. 104

[2] Putu Wirata Dwikora. 2003. Peradilan Dagelan, Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa.

[3] David F. Greenberg. 1983. “Donald Black’s Sociology of Law: A Critique”. Law and Society Review. 17 (2). P. 357

[4] Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian  Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta. hal. xiii.

[5] H. Moh. Koesnoe. 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum. Bagian I (Historis), Cetakan I, Penerbit Mandar Maju. Bandung.  hal. 10-11

1 comment:

  1. Jackpot City Hotel and Casino - JamBase
    Book Jackpot City Hotel and Casino & Save BIG on 경기도 출장마사지 Your 세종특별자치 출장마사지 Next Stay! Compare Reviews, Photos, & 의정부 출장마사지 Availability w/ Travelocity. Start Saving Today! 창원 출장마사지 Rating: 4.6 · 평택 출장안마 ‎7 reviews

    ReplyDelete

Disqus Shortname

Comments system