Friday, June 7, 2019

makalah diskriminasi gender, gender dalam hukum


GENDER DALAM HUKUM


Nama                   : I Wayan Arsetya Jaya
Nim                      : 1804551164
Kelas                              : C
Mata Kuliah                   : Gender Dalam Hukum





Fakultas Hukum
Universitas Udayana
2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh  perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbentuk melalu proses sosial dan kultural. Gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi  atau kualitas hidupnya sama. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Gender itulah yang pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Akan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.  Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya peran di luar itu menjadi tidak penting.
Sejauh menyangkut persoalan gender di mana secara global kaum perempuan yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya, budaya patriarkhi dianggap sebagai akar persoalan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah utama bagi setiap negara-negara di dunia termasuk negara-negara maju yang disebut sangat menghargai dan peduli terhadap Hak Asasi Manusia.
Pendidikan dan penegakan hak-hak wanita mempunyai kaitan yang erat, semakin rendah pendidikan seorang wanita semakin sedikit kesempatan dia untuk menuntuk hak-haknya. Kendala utama datang dari pihak keluarga, wanita dianggap hanya pantas bekerja di dalam rumah saja. Oleh karena itu, kesempatan bagi mereka untuk berkiprah di luar rumah sangat terbatas. Keinginan untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan lainnya karena alasan untuk berkarir di luar rumah sangat sedikit yang mendapat persetujuan dari pihak keluarga khususnya orang tua (Bainar dan Halik,1999:37-38). 
Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lebih khusus lagi, jaminan atas hak asasi perempuan dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Pengesahan Konvensi Perempuan. Didalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tersebut dinyatakan bahwa negara akan melakukan upaya semaksimal mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk adanya kekerasan terhadap perempuan, baik yang meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di wilayah domestik.
Sebagai Negara Hukum Negara RI yang menganut Asas kesamaan di bidang hukum dan pemerintahan seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 27 (1) yang menyatakan :
Segala Warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Namun dalam kenyataannya perempuan masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dalam UU perkawinan misalnya adanya perbedaan batas usia minimal pernikahan pada perempuan dan laki-laki yang terpangkut cukup jauh.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Kenapa Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dianggap mendiskriminatif terhadap gender?
2.       Dan bagaimana upaya menyelesikan masalah tersebut?
1.3  Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengetahui tentang Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 yang merugikan perempuan. Dan upaya dari pemerintah saat ini untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut.
Dan diharapkan dari penelitian ini mencakup manfaat akademis dan praktis. Manfaat akademis dari hasil penelitian ini adalah diharapkan dapat menjadi rujukan dan pertimbangan (berupa ide atau saran-saran).

1.4  Metode Penelitan
1.      Jenis Penelitian 
Penelitian ini menggunakan penelitian jenis Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, dengan melalui pendekatan kualitatif. Kemudian metode yang digunakan yaitu Deskriptif analitis dan induktif Deskriptif analitis.
2.      Sumber Data  
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah karyakarya yang ditulis oleh tokoh yang diteliti. Sedangkan yang menjadi sumber data sekunder adalah literature baik berupa buku- buku dalam edisi cetak maupun internet atau tulisan-tulisan tokoh lain yang di dalamnya terdapat uraian tentang gender dan Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.













BAB II PEMBAHASAN
2.1 Diskriminasi Gender
Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbentuk melalu proses sosial dan kultural.
Kesetaraan gender merupakan suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam hak secara hukum dan kondisi  atau kualitas hidupnya sama. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi setiap manusia. Gender itulah yang pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan. Akan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini, perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap.  Terlebih lagi adanya pola berpikir bahwa peran perempuan hanya sebatas bekerja di dapur, sumur, mengurus keluarga dan anak, sehingga pada akhirnya peran di luar itu menjadi tidak penting. 
Istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perilaku tidak adil dan semacamnya. Diskriminasi gender, menyebabkan kerentanan terhadap perempuan dan/atau anak perempuan serta berpotensi pada terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa pelatihan tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran perempuan, dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial dan politik.  Namun, hal ini justru berbanding terbalik dengan realita bahwa perempuan ternyata mempunyai peranan yang sangat besar dalam berbagai bidang, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial, bahkan peranan perempuan justru sangat dirasakan oleh masyarakat luas


2.2 Diskriminasi Gender pada Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada hakekatnya Perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.
Syarat-syarat perkawinan akan menimbulkan larangan-larangan perkawinan seperti larangan perkawinan di antara dua orang yang masih berhubungan darah, berhubungan sesusuan, berhubungan semenda, atau halhal lain yang dianggap tidak memenuhi syarat. Undang-Undang Perkawinan tidak hanya mengatur mengenai larangan perkawinan yang disebabkan karena hubungan tertentu antara calon suami dan istri seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi juga mengatur adanya larangan perkawinan bagi seseorang perempuan yang masih memiliki suami ataupun sebaliknya.
Di Indonesia telah dibentuk hukum yang mengatur mengenai perkawinan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal(1) yaitu: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.”2
Dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 terdapat pasal yang merugikan terhadap perempuan, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari menuturkan, setidaknya ada tujuh Undang-undang yang harus diubah atau direvisi karena dinilai belum memerhatikan aspek keadilan gender. Salah satunya adalah Undang- Undang Perkawinan.  Dalam UU Perkawinan, misalnya, dalam Pasal 7 ayat 1 mangatur batas usia minimal anak perempuan diperbolehkan menikah adalah 16 tahun dan sementara lelaki pada usia 19 tahun.  Dengan batas umur yang sangat dini tersebut, dampak yang diberikan terhadap perempuan sangat banyak. Salah satunya terhadap pendidikan, di mana banyak perempuan yang hanya bisa menempuh pendidikan hingga tingkat SLTA atau SMA karena batas umur perkawinan tersebut. Ini sangat merugikan perempuan karena akan semakin kecil kesempatan perempuan untuk mendapat hak pendidikan lebih panjang. Bahkan, pada Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan pula perihal dispensasi umur. Di mana dalam pasal tersebut, dispensasi umur pernikahan anak bisa diminta kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. sehingga perempuan dapat dinikahkan pada usia lebih belia, yaitu pada umur 14 tahun. Akibatnya peluang terjadinya pernikahan dini semakin tinggi.
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, menurut Sensus Penduduk 2014, adalah 305 per 100.000 kelahiran hidup, dengan AKI 305 per 100.000 berarti setiap tahun ada sekitar 15.250 ibu yang meninggal di Indonesia karena kehamilan atau persalinannya. Jumlah ini sangat tinggi, bahkan tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Kematian ibu dilaporkan meningkat 2-4 kali lipat pada kehamilan usia dini dibandingkan dengan kehamilan di atas usia 20 tahun. Badan Pusat Statistik melaporkan pada 2016, sekitar 26,16% perempuan yang melahirkan anak pertama mereka berada pada usia di bawah 20 tahun. Dengan kata lain, lebih dari seperempat perempuan usia subur di Indonesia, melahirkan pada usia di bawah 20 tahun. Perkawinan anak akan berujung pada kehamilan anak, yang selanjutnya, anak akan melahirkan anak. Kehamilan atau persalinan pada usia sangat dini akan berisiko si ibu mempunyai anak terlalu banyak dan jarak antara kehamilan yang terlalu dekat. Ini terjadi karena mereka memiliki masa usia subur yang lebih panjang dibandingkan bila mereka menikah pada usia dewasa. Terlalu muda, terlalu dekat, dan terlalu banyak merupakan “3 terlalu” dalam risiko kematian ibu.
Problem lain yang dihadapi oleh perkawinan usia dini dihubungkan dengan meningkatnya risiko komplikasi kehamilan yakni:
1.      Preeklamsia (hipertensi dalam kehamilan)
2.      Eklamsia (kejang pada kehamilan)
3.      Perdarahan pasca persalinan
4.      Persalinan macet (lama) dan keguguran (abortus).
Keempat faktor ini merupakan penyebab utama tingginya angka kematian ibu di Indonesia
Selain hal tersebut, Perempuan yang menikah sangat muda akan memiliki risiko perceraian yang lebih tinggi ketimbang yang menikah pada usia dewasa. Angka perceraian antara usia 20-24 tahun lebih tinggi pada yang menikah sebelum usia 18 tahun, dan cenderung meningkat dari tahun 2013-2015, baik di kota maupun di desa dan sering berakhir sebagai istri kedua atau ketiga, karena secara ekonomi mereka tidak mampu menghidupi anak-anaknya.
          Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Rumusan ini menurut cenderung bersifat diskriminatif, bias gender. Kalangan aktivis perempuan seperti menilai para penyusun revisi perlu sensitivitas gender. Faktanya, tak sedikit keluarga yang ‘kepala keluarganya’ justru perempuan.
2.3 Upaya Revisi Undang-Undang Perkawinan
Sebelumnya upaya judicial review atau pengujian UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 yang dilakukan tiga perempuan korban perkawinan anak, yaitu : Endang Wasrinah, Rasminah dan Maryati, menemui jalan buntu setelah Mahkamah Konstitusi pada Juni 2015 menolak dengan menggunakan dalil “open legal policy” atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Judicial review kedua sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 20 April 2017. Sebulan kemudian, tepatnya pada 24 Mei digelar sidang, dilanjutkan dengan revisi berkas permohonan pada 9 Juni oleh tiga pemohon uji materi itu sesuai masukan hakim Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pihak pembentuk undang-undang (pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat) untuk merevisi Undang-Undang Perkawinan.
Alasan MK, UU itu dinilai diskriminatif, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 dan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, MK menyebut Indonesia dalam kondisi darurat karena perkawinan anak semakin meningkat. MK menilai perkawinan telah menghilangkan hak-hak anak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Indonesia berpotensi dalam kondisi darurat perkawinan anak yang dapat menghambat capaian tujuan bernegara.
MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama tiga tahun, melakukan perubahan terhadap UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengatakan, Komisi VIII DPR menyambut baik putusan MK tersebut. Sebab, putusan itu dinilai menghapuskan diskriminasi batas usia perkawinan anak laki-laki dan perempuan. Ace pun menafsirkan bahwa putusan MK membuat batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan menjadi sama, yakni usia 19 tahun. Batas itu dianggap tepat karena usia tersebut baik laki-laki dan perempuan sudah relatif memiliki kematangan psikologis. Diperkirakan upaya pembahasan tentang revisi UU tentang Perkawinan itu kemungkinan akan dilakukan setelah April 2019 atau usai Pemilu dan Pemilihan Presiden 2019 digelar. Pasalnya, dia memperkirakan, untuk saat ini hingga bulan April tahun depan, pembahasan revisi sulit dilakukan karena ada anggota Komisi VIII yang disibukkan urusan pencalonan kembali sebagai anggota DPR untuk periode 2019-2024.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengapresiasi putusan MK yang memerintahkan DPR untuk merevisi UU tentang Perkawinan terkait batas usia minimal perkawinan bagi perempuan. Pasalnya, putusan MK dinilai mampu mencegah perkawinan anak.

No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system