NAMA : I WAYAN ARSETYA JAYA
NIM :
1804551164
KELAS : C
TUGAS HUKUM
PIDANA
1.
Jelaskan
disertai dengan contoh, kenapa asas legalitas dikatakan berhubungan dengan
teori Psikologischen Zwang dari Paul Johan Anslen Von Feuerbach.
Jawaban
:
Dikaji
dari substansinya, asas legalitas dirumuskan
dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa
perbuatan pidana), nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa
pidana menurut undang-undang) atau nullum crimen sine poena legali (tidak ada
perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya)
atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana tanpa
ketentuan yang tegas).
Teori Psikologischen Zwang dari Paul Johan Anslen Von
Feuerbach yaitu menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus
dituliskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan. Dengan
demikian, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi
terlebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya nanti
jika perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya,
lalu ada tekanan untuk tidak berbuat. Dan jika tetap melakukan perbuatan yang
dilarang itu, maka hal dijatuhi pidana bisa dipandang sebagai sesuatu yang
sudah disetujui oleh dirinya sendiri.
Jadi, asas legalitas dikatakan berhubungan dengan teori Psikologische
Zwang dari Paul Johan Ansien Von Feuerbach karena teori Psikologische
Zwang yang di buatnya menganjurkan supaya; dalam menentukan
perbuatan – perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang
macamnya pidana yang diancamkan. Hal tersebut jelas berhubungan dengan asal
legalitas, karena asas legalitas mengandung pengertian; tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang – undang. Contoh : Apabila asas legalitas
diberlakukan, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih
dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti
perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya,lalu
diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalaupun dia melakukan perbuatan
tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah
disetujuinya sendiri.
2.
Dilihat dari sejarahnya, asas legalitas pada awalnya
berasal dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta tahun 1215, Habeas Corpus Act
tahun 1679, Bill Of Right Virginia 1776 Declaration Des Droits De L ‘Homme Et
Du Citoyen Tahun 1789, yang menentukan bahwa : Tidak ada orang yang dapat
dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Dari
pernyataan terkahir, menurut saudara, asas apakah yang terkandung dalam
Declaration Des Droits De L ‘Homme Et Du Citoyen Tahun 1789 tersebut.
Jawaban :
Menurut
pendapat saya asas yang terkandung dalam Declaration Des Droits De L ‘Homme Et
Du Citoyen Tahun 1789 adalah asas Legalitas. Pemikiran
asas legalitas diimplementasikan sebagai undang-undang dalam Pasal 8 Declaration
Des Droits De L ‘Homme Et Du Citoyen Tahun 1789. Declaration Des Droits De L
‘Homme Et Du Citoyen adalah salah satu dokumen
fundamental dari Revolusi Prancis, menetapkan sekumpulan hak-hak individu
dan hak-hak kolektif manusia. Diadopsi pada 26 Agustus 1789, oleh
Majelis Konstituen Nasional (Assemblée nationale constituante), sebagai
langkah awal untuk penulisan sebuah konstitusi. Ini menetapkan hak-hak
fundamental tidak hanya bagi warga negara Prancis tetapi memperuntukan hak-hak
ini untuk seluruh manusia tanpa terkecuali.
Prinsip-prinsip yang ditetapkan
dalam deklarasi menjadi nilai konstitusional dalam hukum Prancis saat ini dan
mungkin digunakan untuk menentang perundang-undangan dan kegiatan pemerintah
lainnya.
kelima belas isi deklarasi Prancis
yaitu:
1. Manusia dilahirkan merdeka dan tetap
merdeka.
2. Manusia mempunyai hak yang sama.
3. Manusia merdeka berbuat sesuatu
tanpa merugikan pihak lain.
4. Warga Negara mempunyai hak yang sama
dan mempunyai kedudukan serta pekerjaan umum.
5. Manusia tidak boleh dituduh dan
ditangkap selain menurut undang-undang.
6. Manusia mempunai kemerdekaan agama
dan kepercayaan.
7. Manusia merdeka mengeluarkan
pikiran.
8. Adanya kemerdekaan surat kabar.
9. Adanya kemerdekaan bersatu dan
berapat.
10. Adanya kemerdekaan berserikat dan
berkumpul.
11. Adanya kemerdekaan
bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12. Adanya kemerdekaan rumah tangga.
13. Adanya kemerdekaan hak milik.
14. Adanya kemedekaan lalu lintas.
15. Adanya hak hidup dan mencari nafkah.
3.
Pemberlakuan asa retro-aktif , dalam KUHP
dimungkinkan dalam hal adanya perubahan perundang-undangan. Tentang
pemberlakuan retro-aktif, dalam KUHP ketentuan Pasal 1 ayat (2) menyebutkan : “
Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakuakan,
maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.
Apabila dicermati, rumusan ketentuan tersebut tidak jelas, dalam artian ruang
lingkup perubahan UU yang dimaksud tidak menjelaskan lingkup perubahan
dimaksud. Di samping itu , rumusan Pasal 1 ayat (2), bersifat diskriminatif.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan dua hal di atas.
Jawaban :
Mengenai hal perundang-undangan yang berubah, lingkup
perubahan UU yang dimaksud terdapat pada tiga pandangan berikut:
1.
Formil
: perubahan perundang-undangan itu terbatas pada perubahan redaksi rumusan
suatu ketentuan dalam perundang-undangan hukum pidana saja, dan tidak termasuk
perubahan di luar hukum pidana, walaupun perubahan dalam bidang hukum lain itu
mempunyai pengaruh terhadap maslah dapat dipidananya suatu perbuatan. Selain
itu perubahan terjadi apabila terjadinya perubahan teks pada Undang-Undang
Pidana itu sendiri.
2.
Materiil
terbatas : Adanya perubahan keyakinan dalam keyakinan pembuat UU, sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan. Sedangkan perubahan pandangan karena
keadaan-keadaan atau zaman tidak termasuk kedalam pengertian perubahan
perundang-undangan.
3.
Materiil
tidak terbatas : Perubahan UU memberikan keuntungan pada terdakwa.
Sedangkan Pasal 1 ayat (2) dikatakan bersifat diskriminatif
yaitu:
Diskriminatif adalah
Meskipun prinsip dasar dari hukum
berpegang pada asas legalitas namun dalam beberapa ketentuan peraturan
perundang-undangan asas legalitas ini tidak berlaku mutlak. Artinya
dimungkinkan pemberlakuan asas retroaktif walaupun hanya dalam hal-hal tertentu
saja. Pemberlakuan surut diizinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1
ayat (2) KUHP yang menyebutkan “ Bilamana ada perubahan dalam
perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkannya.” Suatu peraturan
perundang-undanganmengandung asas retroaktif jika
:
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
a. menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana; dan
b. menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan (Pasal 12 Ayat 2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Asas
Retroaktif tidak
boleh digunakan kecuali telah memenuhi empat syarat kumulatif:
(1)
kejahatan berupa pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman
dan destruksinya setara dengannya;
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
(2) peradilannya bersifat internasional, bukan peradilan nasional;
(3) peradilannya bersifat ad hoc, bukan peradilan permanen; dan
(4) keadaan hukum nasional negara bersangkutan tidak dapat dijalankan karena sarana, aparat, atau ketentuan hukumnya tidak sanggup menjangkau kejahatan pelanggaran HAM berat atau kejahatan yang tingkat kekejaman dan destruksinya setara dengannya.
4.
Terlepas dari penilaian bahwa asas legalitas memang
sangat efektif dlam melindungi rakyat dari perlakuan sewenang-wenang kekuasaan,
muncul juga wacana bahwa asas legalitas ini dirasa kurang efektif bagi penegak
hukum dalam merspons pesatnya perkembangan kejahatan, bahkan ini dianggap
sebagian ahli sebagai kelemahan mendasar yang oleh E. Utrecht disebutkan
sebagai kekurang-mampuan asas legalitas dalam perhitungan kepentingan-
kepentingan kolektif, karena memungkinkan pembebasan pelaku perbuatan yang
sejatinya merupakan kejahatan tapi tidak tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Dengan kelemahan asas legalitas itu, beberapa ahli
menganggap dimungkinkannya penerapan asas retroaktif (berlaku surut) yang
berperan melakukan penyurutan terhadap impunitas tersangka yang telah secara
yuridis diatur oleh pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menentukan : hak untuk
hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diketahui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”. Barda Nawawi Arief melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas
dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan kearah asas legalitas
materiil dengan mendasarkan pada ketentua dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan
KUHP kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian non retoaktif
dan konvensi tersebut. Bagaimana pendapat saudara tentang hal tersebut?
Jawaban :
Asas legalitas materiil dalam penerapannya di
Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat
No. 1 Tahun 1951 dan kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP 2004
yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat.21 Asas legalitas materiil
menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang
tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup
dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan
hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi
sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi
sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis
yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan
hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau
mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena
untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak
tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.
Larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana
(retroaktif) yang tercantum dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua
menimbulkan implikasi peraturan di bawah UUD 1945 tidak dapat mengeyampingkan
asas tersebut. Kenyataan yang timbul adalah ada pengecualian terhadap larangan
tersebut yang diatur “hanya” dengan undang-undang yang dalam hirarkis
perundang-undangan masih berada di bawah UUD 1945. Problematika ini menimbulkan
persoalan dalam hukum pidana dan hirarki perundang-undangan. Selain itu
larangan penerapan peraturan pidana secara retroaktif ternyata menimbulkan
persoalan yang rumit terutama dalam menghadapi kejahatan jenis baru yang tidak
ada bandingannya dalam KUHP atau peraturan pidana khusus lainnya. Adakah
kejahatan yang sedemikian dibiarkan.
5.
Banyak kalangan mengatakan bahwa “ ekstensieve
interpretative” maknanya sama dengan “ Analogie”. Bagaimana pendapat saudara
hal tersebut?
Jawaban :
Menurut pendapat saya, kedua hal
tersebut berbeda karena terdapat perbedaan prinsip antara ”analogi” dan
extensieve interpretasi. Perbedaan prinsip antara “analogi” dengan “extensieve
interpretasi” yaitu; dalam penafsiran ekstensif masih di pegang peraturan hukum
yang sudah ada, hanya perkataan yang ada di dalam suatu peraturan hukum yang
sudah ada itulah yang ditafsirkan menurut pengertian dalam masyarakat yang
hidup dan tidak menurut makna pada waktu peraturan tersebut berlaku. Sedang
analogi tidak berpegang lagi pada peraturan hukum yang ada, sehingga
bertentangan dengan asas legalitas.
No comments:
Post a Comment