Saturday, October 24, 2020

RESUME PENGANGKUTAN TRANSPORTASI LAUT / HUKUM PENGANGKUTAN

 

PENGANGKUTAN TRANSPORTASI LAUT

 

I.                   Pendahuluan

Pengangkutan adalah proses pemindahan barang dan/atau orang dari tempat asal ke tempat tujuan. Hukum pengangkutan adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan baik pengangkutan di laut, udara, darat dan perairan pedalaman dan termasuk bagian dari hukum dagang yang tidak terlepas dari bidang hukum perdata.

Adapun yang menjadi fungsi pengangkutan itu adalah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Secara garis besarnya moda pengangkutan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : pengangkutan darat (pengangkutan melalui jalan (raya) dan kereta api), pengangkutan laut, dan pengangkutan Udara. Dari ketiga macam moda angkutan tersebut diatas, pengangkutan melalui laut mempunyai peran yang sangat besar dalam pengangkutan bagi Indonesia.

Pengangkutan laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua pihak, yaitu pihak pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa. Dengan adanya perjanjian tersebut menyebabkan suatu tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran atau selama dalam pengangkutan sebagaimana yang tercantum pada pasal 468 KUHD.

Pada pengangkutan barang melalui laut ini dikenal beberapa macam dokumen yang harus menyertainya, diantaranya yang sangat penting adalah konosemen (bill of lading) dalam pasal 506 KUHD. Sedangkan, siapa yang berwenang mengeluarkan konosemen terdapat dalam pasal 504 KUHD, yaitu si pengangkut, disamping itu nahkoda juga berwenang mengeluarkan konosemen berdasarkan 505 KUHD.

 

II.                Pembahasan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (yang selanjutnya disebut UU Pelayaran) menyebutkan pengangkutan laut yang digunakan suatu istilah angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindangkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.  Berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jenis angkutan laut terdiri atas : Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat.

Perjanjian pengangkutan laut pada umumnya dalam hubungan hukum antara pengangkut dengan pemakai jasa pengangkutan berkedudukan sama tinggi atau koordinasi (geeoordineerd), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan subordinasi (gesubordineerd). Menurut sistem hukum Indonesia, perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus) diantara para pihak,

Dalam Pasal 90 KUHD ditentukan bahwa dokumen/surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan pengangkut atau nakhoda. Sebetulnya tanpa dokumen/surat angkutan, apabila tercapai persetujuan kehendak antara kedua belah pihak perjanjian telah ada, sehingga dokumen/surat angkutan hanya merupakan surat bukti belaka mengenai perjanjian angkutan. Dokumen/surat angkutan dinyatakan telah mengikat bukan hanya ketika dokumen/surat angkutan tersebut telah ditandatangani pengirim atau ekspeditur, melainkan juga ketika pengangkut/nakhoda telah menerima barang angkutan beserta dokumen/surat angkutan tersebut.

A.    Pihak-Pihak Pengangkutan Laut

1.      Ekspeditur, Yaitu orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau pengairan. Hal ini diatur dalam KUHD Buku I, Bab V, Bagian Pasal 85 – 90,  Perjanjian Ekspedisi adalah perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pengirim

2.      Pengusaha Transportasi, Orang yang bersedia menyelenggarakan seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan yang ditetapkan sekaligus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri.

3.      Makelar Kapal, Yaitu perantara di bidang jual beli kapal atau carter mencarter kapal. Untuk fungsi yang terakhir ini makelar kapal bertindak atas nama pengusaha kapal, Makelar kapal mengusahakan seIanjutnya agar kapal dimuati, dibongkar dan diserahkan kembali kepada pengusaha kapal.

4.      Agen Duane, Yaitu  perantara  perkapalan/ yang dulu tugasnya mengusahakan sebuah kapal masuk dalam rombongan kapal/konvoi tertentu.  Sekarang  tugasnya  adalah mengusahakan dokumen kapal, menyelesaikan dan membayar bea-cukai dan lain-lain pekerjaan kepelabuhan.

5.      Pengatur Muatan atau Juni Padat, Yaitu orang yang tugasnya menetapkan tempat dimana suatu barang harus disimpan dalam ruangan kapal.

6.      Per-Veem-an, Menurut Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969, Per-veeman, adalah usaha yang ditujukan pada penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan dengan mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, di mana dikerjakan dan disiapkan barang-barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran  untuk dikapalkan.

 

B.     Jenis Kerusakan Atau Kerugian dalam Pengangkutan Laut

Didalam tanggung jawab pengangkut atas kerusakan barang tersebut diwujudkan melalui pemberian ganti rugi sesuai dengan pasal 472 KUHD, merupakan bentuk perlindungan hukun secara normatif untuk melindungi pengirim atau penerima barang dalam pengangkutan laut. Proses tuntutan ganti rugi dilakukan di pelabuhan pembongkaran dengan menyertakan Bill of Ladingserta Notice of Claim yang diperoleh dari pihak pengangkut.

Didalam melakukan pengajuan klaim kepada pengangkut, pengirim atau penerima barang dapat melakukan pelaksanaan penyelesaian penuntutan ganti ruginya atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut melalui 2 (dua) cara yang sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a)      Non Litigasi, penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan melalui proses mediasi, arbitrase atau konsiliasi, seperti diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

b)      b) Litigasi, penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Kerugian yang timbul selama pengangkutan di laut lazim disebut kerugian laut atau ”averij” atau ”average”. Pasal 696 KUHD menentukan tentang averij ini. Pasal ini menentukan segala biaya luar biasa yang dikeluarkan guna kepentingan sebuah kapal dan barang-barang yang dimuatnya, baik biaya tadi dikeluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri, segala kerugian yang menimpa kapal dan barang-barang tersebut, selama waktu yang di dalam bagian ketiga dari bab kesembilan ditetapkan mengenai saat mulai berlakunya dan berakhirnya bahaya, segala sesuatu tadi harus dianggap sebagai kerugian laut (avary).

Berdasarkan macam-macam kerugian tadi undang-undang merumuskan menjadi 2 macam kerugian laut yaitu:

1.      Kerugian laut umum   (avarij grosse) yaitu : yang meliputi kapal, barang dan biaya pengangkutan secara bersamasama.

2.      Kerugian laut khusus (bijzonder avarij), yang meliputi kapal saja atau barang saja

Perbedaan keduanya akan tampak apabila membandingkan Pasal 699 KUHD dengan Pasal 701 KUHD. Dari kedua pasal tersebut dapat dilihat adanya perbedaan antara avarij umum dan khusus, yaitu:            

1. Dalam avarij umum: kerugian tersebut sengaja ditimbulkan  untuk menyelamatkan kapal dan barang. Sedangkan avarij  khusus: kerugian tersebut diderita untuk keperluan kapal saja atau barang saja.

2. Dalam avarij umum: terdapat kepentingan bersama, sedang avarij khusus tidak terdapat hal demikian.

 3. Dalam avarij umum: kerugian atas kapal, barang dan biaya pengangkutan dipikul secara bersama-sama, sedangkan averij khusus: kerugian dipikul sendiri-sendiri atas kapal saja atau barangsaja.

III.             Kesimpulan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (yang selanjutnya disebut UU Pelayaran) menyebutkan pengangkutan laut yang digunakan suatu istilah angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindangkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.

Pengangkutan laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua pihak, yaitu pihak pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa. Dengan adanya perjanjian tersebut menyebabkan suatu tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran atau selama dalam pengangkutan sebagaimana yang tercantum pada pasal 468 KUHD.

Didalam tanggung jawab pengangkut atas kerusakan barang tersebut diwujudkan melalui pemberian ganti rugi sesuai dengan pasal 472 KUHD, merupakan bentuk perlindungan hukun secara normatif untuk melindungi pengirim atau penerima barang dalam pengangkutan laut. Kerugian yang timbul selama pengangkutan di laut lazim disebut kerugian laut atau ”averij” atau ”average”yang diatur pada Pasal 696 KUHD.

Berdasarkan macam-macam kerugian tadi undang-undang merumuskan menjadi 2 macam kerugian laut yaitu: Kerugian laut umum   (avarij grosse), Kerugian laut khusus (bijzonder avarij). Perbedaan keduanya akan tampak apabila membandingkan Pasal 699 KUHD dengan Pasal 701 KUHD. 

 

SUMBER :

Ridwan Khairandy, 2014, Pokok-pokok Hukum Dagang, Yogyakarta: FH UII Press

HMN.Purwosujitjipto, 1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, Jakarta : Djambatan,

No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system