PENGANGKUTAN TRANSPORTASI LAUT
I.
Pendahuluan
Pengangkutan
adalah proses pemindahan barang dan/atau orang dari tempat asal ke tempat
tujuan. Hukum pengangkutan adalah hukum yang mengatur bisnis pengangkutan baik
pengangkutan di laut, udara, darat dan perairan pedalaman dan termasuk bagian
dari hukum dagang yang tidak terlepas dari bidang hukum perdata.
Adapun
yang menjadi fungsi pengangkutan itu adalah memindahkan barang atau orang dari
suatu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan
nilai. Secara garis besarnya moda pengangkutan dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : pengangkutan darat (pengangkutan melalui jalan (raya) dan kereta
api), pengangkutan laut, dan pengangkutan Udara. Dari ketiga macam moda
angkutan tersebut diatas, pengangkutan melalui laut mempunyai peran yang sangat
besar dalam pengangkutan bagi Indonesia.
Pengangkutan
laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua pihak, yaitu pihak
pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa. Dengan adanya perjanjian
tersebut menyebabkan suatu tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada
keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran
atau selama dalam pengangkutan sebagaimana yang tercantum pada pasal 468 KUHD.
Pada
pengangkutan barang melalui laut ini dikenal beberapa macam dokumen yang harus
menyertainya, diantaranya yang sangat penting adalah konosemen (bill of lading)
dalam pasal 506 KUHD. Sedangkan, siapa yang berwenang mengeluarkan konosemen
terdapat dalam pasal 504 KUHD, yaitu si pengangkut, disamping itu nahkoda juga
berwenang mengeluarkan konosemen berdasarkan 505 KUHD.
II.
Pembahasan
Dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (yang selanjutnya disebut
UU Pelayaran) menyebutkan pengangkutan laut yang digunakan suatu istilah
angkutan di perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindangkan penumpang
dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
Berdasarkan pasal 7 UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, jenis
angkutan laut terdiri atas : Angkutan Laut Dalam Negeri, Angkutan Laut Luar
Negeri, Angkutan Laut Khusus, dan Angkutan Laut Pelayaran Rakyat.
Perjanjian pengangkutan
laut pada umumnya dalam hubungan hukum antara pengangkut dengan pemakai jasa
pengangkutan berkedudukan sama tinggi atau koordinasi (geeoordineerd), tidak
seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama
tinggi atau kedudukan subordinasi (gesubordineerd). Menurut sistem hukum Indonesia,
perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan harus tertulis, cukup dengan lisan,
asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat
diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya
kesepakatan (konsensus) diantara para pihak,
Dalam Pasal 90 KUHD
ditentukan bahwa dokumen/surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim
atau ekspeditur dan pengangkut atau nakhoda. Sebetulnya tanpa dokumen/surat
angkutan, apabila tercapai persetujuan kehendak antara kedua belah pihak
perjanjian telah ada, sehingga dokumen/surat angkutan hanya merupakan surat
bukti belaka mengenai perjanjian angkutan. Dokumen/surat angkutan dinyatakan
telah mengikat bukan hanya ketika dokumen/surat angkutan tersebut telah
ditandatangani pengirim atau ekspeditur, melainkan juga ketika
pengangkut/nakhoda telah menerima barang angkutan beserta dokumen/surat
angkutan tersebut.
A. Pihak-Pihak
Pengangkutan Laut
1. Ekspeditur,
Yaitu orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan
dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau pengairan. Hal ini
diatur dalam KUHD Buku I, Bab V, Bagian Pasal 85 – 90, Perjanjian
Ekspedisi adalah perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dengan pengirim
2. Pengusaha
Transportasi, Orang yang bersedia menyelenggarakan seluruh pengangkutan dengan
satu jumlah uang angkutan yang ditetapkan sekaligus untuk semuanya, tanpa
mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan itu sendiri.
3. Makelar
Kapal, Yaitu perantara di bidang jual beli kapal atau carter mencarter kapal.
Untuk fungsi yang terakhir ini makelar kapal bertindak atas nama pengusaha
kapal, Makelar kapal mengusahakan seIanjutnya agar kapal dimuati, dibongkar dan
diserahkan kembali kepada pengusaha kapal.
4. Agen
Duane, Yaitu perantara perkapalan/ yang dulu tugasnya mengusahakan sebuah
kapal masuk dalam rombongan kapal/konvoi tertentu. Sekarang
tugasnya adalah mengusahakan dokumen kapal, menyelesaikan dan membayar
bea-cukai dan lain-lain pekerjaan kepelabuhan.
5. Pengatur
Muatan atau Juni Padat, Yaitu orang yang tugasnya menetapkan tempat dimana
suatu barang harus disimpan dalam ruangan kapal.
6. Per-Veem-an,
Menurut Pasal 1 PP No. 2 Tahun 1969, Per-veeman, adalah usaha yang ditujukan
pada penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan
dengan mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, di mana dikerjakan dan
disiapkan barang-barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya
atau disiapkan untuk diserahkan kepada perusahaan pelayaran untuk
dikapalkan.
B. Jenis Kerusakan Atau Kerugian dalam Pengangkutan
Laut
Didalam tanggung jawab pengangkut atas
kerusakan barang tersebut diwujudkan melalui pemberian ganti rugi sesuai dengan
pasal 472 KUHD, merupakan bentuk perlindungan hukun secara normatif untuk
melindungi pengirim atau penerima barang dalam pengangkutan laut. Proses
tuntutan ganti rugi dilakukan di pelabuhan pembongkaran dengan menyertakan Bill
of Ladingserta Notice of Claim yang diperoleh dari pihak pengangkut.
Didalam melakukan pengajuan klaim kepada
pengangkut, pengirim atau penerima barang dapat melakukan pelaksanaan
penyelesaian penuntutan ganti ruginya atas pelanggaran yang dilakukan oleh
pengangkut melalui 2 (dua) cara yang sesuai dengan Pasal 45 ayat (2) UU Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a)
Non Litigasi,
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan melalui proses mediasi,
arbitrase atau konsiliasi, seperti diatur dalam Pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
b)
b) Litigasi,
penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum.
Kerugian yang timbul selama pengangkutan
di laut lazim disebut kerugian laut atau ”averij” atau ”average”. Pasal 696
KUHD menentukan tentang averij ini. Pasal ini menentukan segala biaya luar
biasa yang dikeluarkan guna kepentingan sebuah kapal dan barang-barang yang
dimuatnya, baik biaya tadi dikeluarkan bersama-sama atau sendiri-sendiri,
segala kerugian yang menimpa kapal dan barang-barang tersebut, selama waktu
yang di dalam bagian ketiga dari bab kesembilan ditetapkan mengenai saat mulai
berlakunya dan berakhirnya bahaya, segala sesuatu tadi harus dianggap sebagai
kerugian laut (avary).
Berdasarkan macam-macam kerugian tadi
undang-undang merumuskan menjadi 2 macam kerugian laut yaitu:
1.
Kerugian laut
umum (avarij grosse) yaitu : yang meliputi kapal, barang dan biaya
pengangkutan secara bersamasama.
2.
Kerugian laut
khusus (bijzonder avarij), yang meliputi kapal saja atau barang saja
Perbedaan keduanya akan tampak apabila
membandingkan Pasal 699 KUHD dengan Pasal 701 KUHD. Dari kedua pasal
tersebut dapat dilihat adanya perbedaan antara avarij umum dan khusus,
yaitu:
1. Dalam avarij umum: kerugian tersebut
sengaja ditimbulkan untuk menyelamatkan kapal dan barang. Sedangkan
avarij khusus: kerugian tersebut diderita untuk keperluan kapal saja atau
barang saja.
2. Dalam avarij umum: terdapat
kepentingan bersama, sedang avarij khusus tidak terdapat hal demikian.
3. Dalam avarij umum: kerugian atas kapal,
barang dan biaya pengangkutan dipikul secara bersama-sama, sedangkan averij
khusus: kerugian dipikul sendiri-sendiri atas kapal saja atau barangsaja.
III.
Kesimpulan
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang Pelayaran (yang selanjutnya disebut UU Pelayaran)
menyebutkan pengangkutan laut yang digunakan suatu istilah angkutan di perairan
adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindangkan penumpang dan/atau barang
dengan menggunakan kapal.
Pengangkutan
laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua pihak, yaitu pihak
pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa. Dengan adanya perjanjian
tersebut menyebabkan suatu tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada
keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran
atau selama dalam pengangkutan sebagaimana yang tercantum pada pasal 468 KUHD.
Didalam tanggung jawab pengangkut atas
kerusakan barang tersebut diwujudkan melalui pemberian ganti rugi sesuai dengan
pasal 472 KUHD, merupakan bentuk perlindungan hukun secara normatif untuk
melindungi pengirim atau penerima barang dalam pengangkutan laut. Kerugian yang
timbul selama pengangkutan di laut lazim disebut kerugian laut atau ”averij”
atau ”average”yang diatur pada Pasal 696 KUHD.
Berdasarkan macam-macam kerugian tadi
undang-undang merumuskan menjadi 2 macam kerugian laut yaitu: Kerugian laut
umum (avarij grosse), Kerugian laut khusus (bijzonder avarij). Perbedaan
keduanya akan tampak apabila membandingkan Pasal 699 KUHD dengan Pasal 701
KUHD.
SUMBER :
Ridwan
Khairandy, 2014, Pokok-pokok Hukum Dagang, Yogyakarta: FH UII Press
HMN.Purwosujitjipto,
1981, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, Jakarta : Djambatan,
No comments:
Post a Comment