1.
Bandingkan sistematika awig –awing dan Peraturan
perundang-undangan
Jawaban
:
Desa Adat di Bali
sejak 1969 terdapat kecendrungan
membuat awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi
muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Provinsi Bali. Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Sistematika
awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh
pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan
Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam
buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai
pedoman yang ada, sistematika awig-awig terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan)
dan Batang Tubuh. Batang tubuh awigawig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang
dibagi-bagi lagi dalam Palet (bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos
masih diuraikan lagi dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan
bahasa Sansekerta, seperti misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab
kedua disebut Dwityas Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka
dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4,
dan seterusnya, sedangkan penomoran
kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka,
dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan perundang-undangan
yang ada di Indonesia, sistematika awig-awig desa pakraman menyerupai
sistematika UUD 1945.
sistematika
UUD 1945 yang berlaku seperti berikut.
a) Pembukaan UUD 1945 terdiri dari 4 alenia serta
4 pokok pikiran.
b) Batang tubuh yang terdiri 16 bab, 37 pasal, 4 aturan
peralihan, serta 2 aturan tambahan.
c) Penjelasan yang terdiri dari penjelasan umum dan
juga pasal demi pasal.
2.
Bandingkan Pengaturan
hukum perkawinan dan hukum waris dalam hukum adat dan hukum nasional
Jawaban :
Awig-awig desa adat yang mengatur masalah-masalah perkawinan di bawah
bab (sarga) tersendiri yang secara khusus memuat aspek-aspek hukum keluarga.
Bab tersebut berjudul Sukerta Tata Pawongan, yang di dalamnya mengatur
aspek-aspek hukum keluarga meliputi: indik pawiwahan (prihal perkawinan), indik
nyapian (prihal perceraian), indik sentana (prihal anak keturunan), dan indik
warisan (prihal pewarisan).Pada umumnya, aspek-aspek yang diatur dalam sub titel
(palet) indik pawiwahan adalah menyangkut: pengertian perkawinan; prihal
cara-cara perkawinan (pemargin pawiwahan); prihal syaratsyarat perkawinan
(pidabdab sang pacang mawiwaha); dan prihal prosedur perkawinan (pemargin
pawiwahan) awig-awig ini tidak berbeda dengan konsep perkawinan yang diatur
oleh awig-awig desa pakraman pada umumnya Walaupun ditemukan sedikit variasivariasi
tertentu dalam rumusannya, namun dapat ditegaskan bahwa secara konseptual semua
awig-awig yang diteliti menganut konsep bahwa:
(1) Perkawinan merupakan suatu ikatan antara dua
pihak yang masing-masing berstatus gender berbeda, yaitu purusa (laki-laki) dan
pradana (perempuan) laki dan perempuan (”patemoning purusa pradana”);
(2) Perkawinan didasari oleh kehendak bersama dan
rasa cinta calon mempelai (malarapan panunggalan kayun suka cita);
(3) Perkawinan dilaksanakan melalui rangkaian upacara
agama yang disebut upasaksi (malarapan upasaksi sekala niskla)
Sedangkan dalam UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun
1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu
perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
Surat- surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki
prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.
Hakekat pewarisan menurut hukum adat Bal adalah proses
pelimpahan harta kekayaan, hutang, kewajiban dan tanggung jawab dari pewaris
kepada ahli waris dengan mempertimbangkan kedudukannya apakah sebagai purusa
atau tidak sebagai purusa. Hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang yang
dilakukan atau dianut oleh masyarakat adat di Bali yaitu sistem patrilineal,
dimana berlaku tiga sistem kewarisan yakni
individual, kolektif dan mayorat.
Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan
mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan
pasal 1130 KUH Perdata Ada dua
jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan
absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan
yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak
keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak
menerima warisan.
3.
Jelaskan pandangan saudara tentang hukum tanah adat bagaimana hukum nasional mengatur
berkenaan dengan hukum tanah adat?
Jawaban :
Menurut pandangan saya Hukum tanah adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang
berkaitan dengan tanah dan bersumber pada hukum adat. Objek hukum tanah adat
adalah hak atas tanah adat.
Tanah
adat atau yang disebut dengan tanah ulayat diartikan sebagai tanah
bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas
tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.
UUPA
sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat
istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah
apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht".
Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:
Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan
Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.
Pengakuan Hak Ulayat
Pada
dasarnya, berdasarkan Pasal 33
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakya
Pengakuan
hak ulayat juga terdapat pada Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
“Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”
Lalu, Pasal
2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengatur bahwa hak menguasai dari Negara
tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra
dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat
Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat
sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak
tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah
pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam
kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat dengan alasan
kepentingan nasional sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, hilangnya
budaya, dan yang paling parah adalah hilangnya ciri dan kepribadian dalam
berbangsa.
No comments:
Post a Comment