Saturday, October 24, 2020

HUKUM ADAT LANJUTAN / HUKUM ADAT BALI


1.      Bandingkan sistematika awig –awing dan Peraturan perundang-undangan

Jawaban :

Desa Adat di Bali  sejak 1969 terdapat kecendrungan  membuat awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Sistematika awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika awig-awig terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh awigawig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet (bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya,  sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, sistematika awig-awig desa pakraman menyerupai sistematika UUD 1945.

sistematika UUD 1945 yang berlaku seperti berikut.

a)      Pembukaan UUD 1945 terdiri dari 4 alenia serta 4 pokok pikiran.

b)      Batang tubuh yang terdiri 16 bab, 37 pasal, 4 aturan peralihan, serta 2 aturan tambahan.

c)      Penjelasan yang terdiri dari penjelasan umum dan juga pasal demi pasal.

 

2.      Bandingkan Pengaturan hukum perkawinan dan hukum waris dalam hukum adat dan hukum nasional

Jawaban :

Awig-awig desa adat yang  mengatur masalah-masalah perkawinan di bawah bab (sarga) tersendiri yang secara khusus memuat aspek-aspek hukum keluarga. Bab tersebut berjudul Sukerta Tata Pawongan, yang di dalamnya mengatur aspek-aspek hukum keluarga meliputi: indik pawiwahan (prihal perkawinan), indik nyapian (prihal perceraian), indik sentana (prihal anak keturunan), dan indik warisan (prihal pewarisan).Pada umumnya, aspek-aspek yang diatur dalam sub titel (palet) indik pawiwahan adalah menyangkut: pengertian perkawinan; prihal cara-cara perkawinan (pemargin pawiwahan); prihal syaratsyarat perkawinan (pidabdab sang pacang mawiwaha); dan prihal prosedur perkawinan (pemargin pawiwahan) awig-awig ini tidak berbeda dengan konsep perkawinan yang diatur oleh awig-awig desa pakraman pada umumnya Walaupun ditemukan sedikit variasivariasi tertentu dalam rumusannya, namun dapat ditegaskan bahwa secara konseptual semua awig-awig yang diteliti menganut konsep bahwa:

(1) Perkawinan merupakan suatu ikatan antara dua pihak yang masing-masing berstatus gender berbeda, yaitu purusa (laki-laki) dan pradana (perempuan) laki dan perempuan (”patemoning purusa pradana”);

(2) Perkawinan didasari oleh kehendak bersama dan rasa cinta calon mempelai (malarapan panunggalan kayun suka cita);

(3) Perkawinan dilaksanakan melalui rangkaian upacara agama yang disebut upasaksi (malarapan upasaksi sekala niskla)

Sedangkan dalam UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat- surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki prinsip-prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Hakekat pewarisan menurut hukum adat Bal adalah proses pelimpahan harta kekayaan, hutang, kewajiban dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli waris dengan mempertimbangkan kedudukannya apakah sebagai purusa atau tidak sebagai purusa. Hal ini sesuai dengan sistem kekeluargaan yang yang dilakukan atau dianut oleh masyarakat adat di Bali yaitu sistem patrilineal, dimana berlaku tiga sistem kewarisan yakni individual, kolektif dan mayorat.

Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.

 

3.      Jelaskan pandangan saudara tentang hukum  tanah adat bagaimana hukum nasional mengatur berkenaan dengan hukum tanah adat?

Jawaban :

Menurut pandangan saya Hukum tanah adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang berkaitan dengan tanah dan bersumber pada hukum adat. Objek hukum tanah adat adalah hak atas tanah adat.

Tanah adat atau yang disebut dengan tanah ulayat diartikan sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan hak ulayat.

UUPA sendiri tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan tanah ulayat. Dalam Pasal 3 UUPA memang terdapat istilah “hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu”. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUPA dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang di dalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Bunyi selengkapnya Pasal 3 UUPA adalah sebagai berikut:

 

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

 

Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”.

 

Pengakuan Hak Ulayat

Pada dasarnya, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakya

Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:

 

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

 

Lalu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) mengatur bahwa hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Pengaturan inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat

Kenyataannya eksistensi hak-hak adat masyakat hukum adat sering dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan golongan atau pihak-pihak tertentu dengan cara mendompleng pemerintah. Alasan yang sering dipakai adalah pemanfaatan sumberdaya alam demi kepentingan nasional, yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah. Penggerusan eksistensi hak-hak adat dengan alasan kepentingan nasional sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan, hilangnya budaya, dan yang paling parah adalah hilangnya ciri dan kepribadian dalam berbangsa.

No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system