Saturday, October 24, 2020

HUKUM ADAT LANJUTAN / bentuk-bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal, Matrilineal, dan Parental

 

1.      Coba cari dan telusuri bentuk-bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal, Matrilineal, dan Parental

 

1)      Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang berarti garis. Jadi, patrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Perkawinan pada susunan kekerabatan patrilineal, si wanita berpindah ke dalam kekerabatan suaminya dan melepaskan diri dari kerabat asal. 

Adapun Bentuk perkawinan pada masyarakat Patrilineal, antara lain:

1.      Perkawinan Jujur

Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan persekutuannya. Perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat suami. Wanita tersebut mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain. Setelah isteri ada di tangan suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.

2.      Perkawinan Mengabdi

Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita.

Maka perkawinan dilaksanakan dengan pembayaran perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka pihak pria tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya sampai utangnya lunas.

3.      Perkawinan Mengganti/ Levirat

Yaitu perkawinan antara seorang janda engan saudara laki-laki almarhum suaminya.

Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa dikenal dengan “medun ranjang”.

4.      Perkawinan Meneruskan/ Sorotan

Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama.

Tujuan perkawinan ini :

Terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarang wulu”

5.      Perkawinan Bertukar

Bentuk perkawinan dimana memperbolehkan sistem perkawinan timbal balik (symetris connubium).

Sehingga pembayaran jujur yang terhutang secara timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar bertimbal balik diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus.

2)      Bentuk perkawinan pada masyarakat Matrilineal

 

Yaitu sistem perkawinan di mana diatur menurut tata tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan si istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.

Perkawinan menganut ketentuan eksogami, si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri, diperkenankan bergaul dengan kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar. Anak-anak yang akan dilahirkan termasukdalam clan ibunya yang matrilineal. Perkawinan semendo merupakan corak khas perkawinan pada masyarakat matrilineal. Perkawinan semendo merupakan corak khas perkawinan pada masyarakat matrilineal. Adalah bentuk perkawinan yang tanpa memakai dasar uang jujur sebaga tanda peminangan, karena pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan keturunan pihak wanita (ibu) atau klan istri. Adapun tingkatantingkatan perkawinan semendo adalah : perkawinan semendo bertendang, semendo menetap dan semendo bebas. Sedangkan bentuk-bentuk perkawinan semendo adalah : semendo raja-raja, semendo lepas, semendo nunggu, semendo anak dagang dan semendo ngangkit/nyangkit.[1]

 

3)      Bentuk perkawinan pada masyarakat parental

 

Perkawinan pada susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami istri masuk ke dalam kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak juga masuk dalam kerabat bapaknya dan kerabat ibunya. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan , kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya

sendiri.[2]

 

2.      Jelaskan system pewarisan dalam masing-masing system kekerabatan/ kekeluargaan tersebut. Jelaskan masing-masing

 

Sistem pewarisan Pada Masyarakat Patrilineal

Sistem kewarisan mayorat sama dengan juga sistem kewarisan kolektif, namun dengan cara yang lebih khusus yaitu dengan cara meneruskan dan mengalihkan hak penguasaan atas harta warisan yang tidak terbagi  itu untuk dilimpahkan kepada anak tertua tersebut berkedudukan sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang telah meninggal. Anak tertua diberi kewajiban untuk mengurus dan memelihara adik-adiknya yang belum dewasa dengan memanfaatkan hasil harta warisan penerus dari orang tua sampai mereka dewasa dan berpencarian sendiri

Sistem pewarisan Pada Masyarakat Matrilineal

Sistem pewarisan adalah sistem waris yang mengalihkan harta warisan kepada ahli waris kerabat sebagai kesatuan yang terbagi-bagi. Harta warisan biasanya berupa benda tidak bergerak seperti tanah, sawah, kebun, ladang, rumah atau bangunan lainnya. Setiap ahli waris kerabat berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau pun memperoleh hasil dari harta warisan kolektif tersebut. Pemanfaatan harta warisan kolektif diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat.

Sistem kewarisan kolektif, sistem ini dipengaruhi oleh cara berpikir yang kita jumpai dalam masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang komunal/kebersamaan.  Cara berpikir yang komunal ini menekankan pada rasa kebersamaan dalam ikatan yang kuat, senasib sependeritaan, secita-cita dan setujuan, meliputi seluruh lapangan kehidupan. Cara berpikir komunal ini berkaitan dengan hukum waris adat, lebih baik harta peninggalan (warisan) dibiarkan tetap utuh tidak dibagi-bagikan, diwarisi bersamasama oleh sekumpulan ahli warisnya dan hasilnya dinikmati bersama kemudian dijadikan harta pusaka. Sebagai contoh yang dijumpai dalam adat Bali Druwe-teguh, Tanah Dati di Ambon, dan di Minangkabau yang disebut dengan “Harato Pusako” (harta pusaka).[3]

Sistem pewarisan Pada Masyarakat Parental

Sistem pewarisan yang memperoleh bagian harta warisan didasarkan pada individu atau orang perseorangan. Setiap ahli  waris memperoleh bagian harta warisan untuk secara bebas dimiliki, dikuasai dinikmati sendiri diusaka atau dialihkan kepada pihak lain. sistem pewarisan individual (perseorangan) terdapat pada kelompok masyarakat Parental.

Apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 (tiga) unsur pokok yakni: adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau meneruskannya dan adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan (penerusan) atau pembagian harta warisan itu. Produk hukum kewarisan di Indonesia memang bermacam-macam namun disini akan lebih terfokus kepada pewarisan dalam sistem waris adat parental.

Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya melalui pihak ayah dan pihak ibu. Anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut  menjadi anggota dari keluarga ayah dan ibu, sesuai dengan hukum  adat yang mengatur pertalian darah dan pola penarikan garis keturuanan hubungan-hubungan orang tua dengan anaknnya.

Sistem pewarisan ini tidak dibedakan antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. Di dalam hukum adat parental ini pembagian waris di anggap sama hanya di bedakan golongan-golongan saja di mana golongan pertama adalah keturunan dari sipewaris, golongan kedua adalah orang tua pewaris, golongan ketiga adalah saudara-saudara pewaris dan yang keempat adalah orang tua dari pada orang tua si pewaris. Dengan adannya penggolongan ini maka dapat di lihat siapa yang dapat menjadi ahli waris dengan adannya golongan-golongan tersebut, dimana golongan pertama lebih di utamakan daripada golongan-golongan lainnya. Pewarisan menurut hukum adat masih sulit memperoleh ketentuan yang seragam karena masih dipengaruhi oleh bermacam-macam garis keturunan yaitu patrilinela, matrilineal dan parental.[4]



[1] Djaren Saragih, Op.Cit, hal.135-143.

[2] Van Dijk; 2006; Hal : 40

[3] Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam. Penerbit P.T. Aditya Bhakti, Bandung 1991.

[4] Abdul kadir muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 198.

No comments:

Post a Comment

Disqus Shortname

Comments system