1. Coba cari dan telusuri bentuk-bentuk
perkawinan pada masyarakat patrilineal, Matrilineal, dan Parental
1)
Bentuk
perkawinan pada masyarakat Patrilineal
Patrilineal adalah
suatu adat masyarakat yang mengatur alur
keturunan berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki,
meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata bahasa
Latin, yaitu pater yang
berarti ayah, dan linea yang berarti garis. Jadi, patrilineal
berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah. Perkawinan pada susunan kekerabatan
patrilineal, si wanita berpindah ke dalam kekerabatan suaminya dan melepaskan
diri dari kerabat asal.
Adapun Bentuk perkawinan pada
masyarakat Patrilineal, antara lain:
1.
Perkawinan Jujur
Suatu bentuk perkawinan yang dilakukan
dengan memberikan jujur. Oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan, sebagai
lambang diputuskannya kekeluargaan sang istri dengan orang tua, kerabat, dan
persekutuannya. Perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak
pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, maka
berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya menjadi
keanggotaan kerabat suami. Wanita tersebut mengikatkan diri pada perjanjian
untuk ikut di pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan
tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain. Setelah isteri ada di
tangan suami, maka isteri dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan
persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami.
Isteri tidak boleh bertindak sendiri oleh karena ia adalah pembantu suami dalam
mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam
hubungan kemasyarakatan.
2.
Perkawinan
Mengabdi
Yaitu perkawinan yang disebabkan karena pihak pria
tidak dapat memenuhi syarat- syarat dari pihak wanita.
Maka perkawinan dilaksanakan dengan pembayaran
perkawinan dihutang atau ditunda. Dengan perkawinan mengabdi maka pihak pria
tidak usah melunasi uang jujur. Pria mengabdi pada kerabat mertuanya sampai
utangnya lunas.
3.
Perkawinan
Mengganti/ Levirat
Yaitu perkawinan antara seorang janda engan saudara
laki-laki almarhum suaminya.
Bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat adanya
anggapan bahwa seorang istri telah dibeli oleh pihak suami dengan telah
membayar uang jujur. Perkawinan mengganti di Batak disebut “paraekhon”, di
Palembang dan Bengkulu disebut dengan “ganti tikar” dan di Jawa dikenal dengan
“medun ranjang”.
4.
Perkawinan
Meneruskan/ Sorotan
Yaitu bentuk perkawinan seorang balu (duda) dengan
saudara perempuan almarhum istrinya. Perkawinan ini tanpa pembayaran yang jujur
yang baru, karena istri kedua dianggap meneruskan fungsi dari istri pertama.
Tujuan perkawinan ini :
Terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan
kekeluargaan) agar kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu
tetap terpelihara juga untuk menjaga keutuhan harga kekayaan (harta
perkawinan). Di Jawa disebut dengan perkawinan “Ngarang wulu”
5.
Perkawinan
Bertukar
Bentuk perkawinan dimana memperbolehkan sistem
perkawinan timbal balik (symetris connubium).
Sehingga pembayaran jujur yang terhutang secara
timbal balik seakan-akan dikompensikan, pembayaran jujuar bertimbal balik
diperhitungkan satu dengan yang lain, sehingga keduanya menjadi hapus.
2)
Bentuk perkawinan pada
masyarakat Matrilineal
Yaitu sistem perkawinan di mana
diatur menurut tata tertib garis ibu, sehingga setelah dilangsungkan perkawinan
si istri tetap tinggal dalam clannnya yang matrilineal.
Perkawinan
menganut ketentuan eksogami, si suami tetap tinggal dalam clannya sendiri,
diperkenankan bergaul dengan kerabat istri sebagai “urung sumando” atau ipar. Anak-anak yang akan dilahirkan
termasukdalam clan ibunya yang matrilineal. Perkawinan semendo merupakan corak khas
perkawinan pada masyarakat matrilineal. Perkawinan semendo merupakan corak khas
perkawinan pada masyarakat matrilineal. Adalah bentuk perkawinan yang tanpa
memakai dasar uang jujur sebaga tanda peminangan, karena pada prinsipnya adalah
untuk mempertahankan keturunan pihak wanita (ibu) atau klan istri. Adapun
tingkatantingkatan perkawinan semendo adalah : perkawinan semendo bertendang,
semendo menetap dan semendo bebas. Sedangkan bentuk-bentuk perkawinan semendo
adalah : semendo raja-raja, semendo lepas, semendo nunggu, semendo anak dagang
dan semendo ngangkit/nyangkit.[1]
3) Bentuk perkawinan pada masyarakat parental
Perkawinan
pada susunan kekerabatan parental, setelah perkawinan suami istri masuk ke
dalam kerabat suami dan kerabat istri. Anak-anak juga masuk dalam kerabat
bapaknya dan kerabat ibunya. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua
maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang
perkawinan , kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan
parental ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun
langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan
sanak kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya
sendiri.[2]
2.
Jelaskan system pewarisan dalam
masing-masing system kekerabatan/ kekeluargaan tersebut. Jelaskan masing-masing
Sistem pewarisan Pada Masyarakat
Patrilineal
Sistem
kewarisan mayorat sama dengan juga sistem kewarisan kolektif, namun dengan cara
yang lebih khusus yaitu dengan cara meneruskan dan mengalihkan hak penguasaan
atas harta warisan yang tidak terbagi
itu untuk dilimpahkan kepada anak tertua tersebut berkedudukan sebagai
penerus tanggung jawab orang tua yang telah meninggal. Anak tertua diberi
kewajiban untuk mengurus dan memelihara adik-adiknya yang belum dewasa dengan memanfaatkan
hasil harta warisan penerus dari orang tua sampai mereka dewasa dan
berpencarian sendiri
Sistem pewarisan Pada Masyarakat
Matrilineal
Sistem
pewarisan adalah sistem waris yang mengalihkan harta warisan kepada ahli waris
kerabat sebagai kesatuan yang terbagi-bagi. Harta warisan biasanya berupa benda
tidak bergerak seperti tanah, sawah, kebun, ladang, rumah atau bangunan
lainnya. Setiap ahli waris kerabat berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau
pun memperoleh hasil dari harta warisan kolektif tersebut. Pemanfaatan harta
warisan kolektif diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat.
Sistem
kewarisan kolektif, sistem ini dipengaruhi oleh cara berpikir yang kita jumpai
dalam masyarakat adat yang disebut cara berpikir yang komunal/kebersamaan. Cara berpikir yang komunal ini menekankan pada
rasa kebersamaan dalam ikatan yang kuat, senasib sependeritaan, secita-cita dan
setujuan, meliputi seluruh lapangan kehidupan. Cara berpikir komunal ini
berkaitan dengan hukum waris adat, lebih baik harta peninggalan (warisan)
dibiarkan tetap utuh tidak dibagi-bagikan, diwarisi bersamasama oleh sekumpulan
ahli warisnya dan hasilnya dinikmati bersama kemudian dijadikan harta pusaka.
Sebagai contoh yang dijumpai dalam adat Bali Druwe-teguh, Tanah Dati di Ambon,
dan di Minangkabau yang disebut dengan “Harato Pusako” (harta pusaka).[3]
Sistem pewarisan Pada Masyarakat
Parental
Sistem
pewarisan yang memperoleh bagian harta warisan didasarkan pada individu atau
orang perseorangan. Setiap ahli waris
memperoleh bagian harta warisan untuk secara bebas dimiliki, dikuasai dinikmati
sendiri diusaka atau dialihkan kepada pihak lain. sistem pewarisan individual
(perseorangan) terdapat pada kelompok masyarakat Parental.
Apabila
berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3
(tiga) unsur pokok yakni: adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang
disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta
warisan dan mengalihkan atau meneruskannya dan adanya ahli waris, orang yang
menerima pengalihan (penerusan) atau pembagian harta warisan itu. Produk hukum
kewarisan di Indonesia memang bermacam-macam namun disini akan lebih terfokus
kepada pewarisan dalam sistem waris adat parental.
Sistem
kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang berdasarkan pertalian
keturunan melalui ayah dan ibu yang menarik garis keturunannya melalui pihak
ayah dan pihak ibu. Anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut menjadi anggota dari keluarga ayah dan ibu,
sesuai dengan hukum adat yang mengatur
pertalian darah dan pola penarikan garis keturuanan hubungan-hubungan orang tua
dengan anaknnya.
Sistem
pewarisan ini tidak dibedakan antara ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
Di dalam hukum adat parental ini pembagian waris di anggap sama hanya di
bedakan golongan-golongan saja di mana golongan pertama adalah keturunan dari
sipewaris, golongan kedua adalah orang tua pewaris, golongan ketiga adalah
saudara-saudara pewaris dan yang keempat adalah orang tua dari pada orang tua
si pewaris. Dengan adannya penggolongan ini maka dapat di lihat siapa yang
dapat menjadi ahli waris dengan adannya golongan-golongan tersebut, dimana golongan
pertama lebih di utamakan daripada golongan-golongan lainnya. Pewarisan menurut
hukum adat masih sulit memperoleh ketentuan yang seragam karena masih
dipengaruhi oleh bermacam-macam garis keturunan yaitu patrilinela, matrilineal
dan parental.[4]
[1] Djaren
Saragih, Op.Cit, hal.135-143.
[2] Van Dijk; 2006;
Hal : 40
[3] Hilman
Hadikusuma. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama
Hindu, Islam. Penerbit P.T. Aditya Bhakti, Bandung 1991.
[4] Abdul
kadir muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014,
hlm. 198.
No comments:
Post a Comment