KONSEP DAN REGULASI HAK PENGUASAAN
DAN MILIK ATAS TANAH ADAT DI BALI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat,
bangsa dan Negara Indonesia. Tanah mempunya i hubungan yang erat
dengan manusia, hubungan ini seperti halnya anak dan ibu karena tanah merupakan
ibu pertiwi, maka dari itu manusia harus tetap menghormati, menjaga dan
melestarikan tanah tersebut. Segala aktifitas keseharian manusia pada umumnya
dan sebagaian terbesar dilakukan diatas tanah, termasuk setelah manusia
meninggal dunia masih memerlukan tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir
atau dikremasi diatas tanah dan menjadi tanah. . Lebih-lebih jika dilihat dari
sudut ekonomis, tanah mempunyai nilai ekonomis tinggi baik sebagai kebutuhan
rumah tinggal, tempat usaha, bahkan sudah menjadi komuditi investasi yang
menggiurkan, dengan nilai jual semakin hari semakin tinggi bahkan melambung
tinggi. Karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, maka tanah sangat tinggi
kecendrungnya menjadi objek sengketa.
Disahkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang lebih lanjut disebut UUPA pada tanggal 24 September 1960, yang kemudian
diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, merupakan tonggak yang sangat
penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia, yaitu sebagai
salah satu upaya mewujudkan unifikasi hukum dalam bidang pertanahan, walaupun
unifikasi tersebut dapat dinyatakan bersifat unik, karena masih memberikan
kemungkinan berlakunya hukum adat dan agama.
Hubungan
fungsional antara UUPA dengan hukum adat relevan dengan kondisi Negara
Indonesia yang bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras dan multi golongan.
Juga relevan dengan sesanti Bineka Tunggal Ika yang secara de facto
mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia7
(yang selanjutnya disebut NKRI). Jadi warna pluralisme hukum tampaknya masih
mendapat tempat, dibina dan dikembangkan.
Antara
UUPA dengan hukum adat akan berfungsi saling melengkapi (inter complementer)
dan Saling menguntungkan (Simbiosis Mutualisme) dalam upaya mengisi kekosongan
hukum yang ada.
Kenyataannya
dalam beberapa kasus sengketa tanah yang ada dan terus terjadi di Bali sampai
saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA sebagai hukum negara di satu sisi dengan hukum adat sebagai hukum
rakyat di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan
perlindungan hak ulayat khususnya mengenai hak penguasaan dan pemilikan atas
tanah adat oleh persekutuan hukum yang disebut desa adat.
Pada tahun ini pemerintah daerah Bali mengeluarkan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat,
Menurut Gubernur Koster, Perda ini secara garis besar mengatur secara
fundamental dan komprehensif mengenai berbagai aspek berkenaan dengan desa adat
di Bali untuk menguatkan kedudukan, kewenangan, dan peran desa adat Melalui
Perda ini, kata dia, desa adat mempunyai otonomi yang berwenang mengatur dan
mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang
tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum. Perda
ini memberikan perlindungan hukum terhadap hak penguasaan dan pemilikan atas
tanah masyarakat hukum adat, yaitu desa adat.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dan regulasi hak penguasaan dan
pemilikan atas tanah-tanah adat di Bali
?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa terhadap hak
penguasaan dan pemilikan tanah ?
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Konsep Penguasaan dan Pemilikan
Menurut Satjipto Rahardjo dinyatakan
bahwa dalam penguasaan mempunyai unsur faktual dan adanya sikap batin. Artinya
secara faktual adanya hubungan nyata antara seseorang dengan barang yang ada
dalam kekuasaan, sehingga pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain
kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Sedangkan sikap batin artinya adanya
maksud untuk menguasai atau
menggunakannya[1]
Menurut rumusan Pasal 529 BW ini dapat
diketahui bahwa pada dasarnya kedudukan berkuasa atau hak menguasai memberikan
kepada pemegang haknya kedudukan berkuasa tersebut kewenangan untuk mempertahankan
atau menikmati benda yang dikuasai tersebut sebagaimana layaknya seorang
pemilik.153 Oleh karena itu, atas suatu benda yang tidak diketahui pemiliknya
secara pasti, seorang pemegang kedudukan berkuasa dapat dianggap sebagai
pemilik dari kebendaan tersebut
Hak penguasaan atas tanah berisikan
serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau
dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di
antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah, seperti
antara Hak Milik dengan Hak Guna Usaha
Pemilikan mempunyai sosok yang lebih jelas dan
pasti. Menurut Fitgerald, ciri hak-hak dalam pemilikan, yakni:
(1)
Pemilik
mempunyai hak memiliki barangnya. Ia mungkin tidak memegang atau menguasai
barang tersebut, oleh karena barang tersebut mungkin telah direbut daripadanya
oleh orang lain. Sekalipun demikian, hak atas barang itu tetap ada pada
pemegang hak semula;
(2)
Pemilik biasanya
mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati barang yang dimilikinya, yang
pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap
barangnya;
(3)
Pemilik
mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau mengalihkan barangnya. Pada
orang yang menguasai suatu barang, hak untuk mengalihkan itu tidak ada padanya
karena adanya asas memo dat quod non habet, oleh karena si penguasa tidak
mempunyai hak dan karenanya juga tidak dapat melakukan pengalihan hak kepada
orang lain;
(4)
Pemilikan tidak
mempunyai ciri yang tidak mengenal pembatasan jangka waktu. Ciri ini sekali
lagi membedakan dari penguasaan, oleh karena yang disebut terakhir terbuka
untuk penentuan lebih lanjut di kemudian hari, sedang pada pemilikan secara
teoritis berlaku untuk selamanya;
(5)
Pemilikan
mempunyai ciri yang bersifat sisa. Seorang pemilik tanah dapat menyewakan
tanahnya kepada A, memberikan hak untuk melintasi tanahnya kepada B, dan kepada
C memberikan hak yang lain lagi, sedang ia tetap memiliki hak atas tanah itu
yang terdiri dari sisanya sesudah hak-haknya itu ia berikan kepada mereka itu.
Dibandingkan dengan pemilik hak untuk melintasi tanah itu, maka hak dari
pemilik bersifat tidak terbatas. Di sini akan dinyatakan, bahwa hak yang
pertama bersifat menumpang pada hak pemilik yang asli dan keadaan ini disebut
sebagai ius in re aliena.
Dalam Pasal 570 Burgerlijk Wetboek dapat
dinyatakan bahwa makna yang dikandung dalam Hak milik, yaitu sebagai hak yang
paling utama dibandingkan dengan hak-hak kebendaan lainnya, karena pemilik mempunyai
kebebasan untuk menikmati, menguasai, menggunakan benda yang dimilikinya dengan
bebas sepanjang tidak bertentangan dengan norma yang ada, dalam batas upaya
memenuhi kebutuhan pemiliknya secara wajar. Dengan demikian penguasaan yang
dimaksudkan adalah pemilik hak dapat melakukan perbuatan hukum terhadap barang
miliknya, seperti memelihara, membebani dengan hak kebendaan lainnya,
memindahtangankan, mengubah bentuknya.
Konsepsi di atas menunjukkan, bahwa
dalam pemilikan terkandung makna penguasaan di dalamnya, sedangkan dalam
penguasaan belum tentu terkandung makna
pemilikan.
2.2
Penguasaan dan kepemilikan tanah adat di Bali
Jika
dilihat dari Pasal 4 ayat 1 UUPA, Atas dasar hak menguasai dari Negara
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Pasal 4 ayat 1
UUPA ini terkait dengan ketentuan Pasal 21 UUPA yang menentukan sebagai
berikut:
(1) Hanya
warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh
pemerintah ditetapkan badanbadan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya
Jika
melihat Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 tentang badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah. Pasal 1 Peraturan Pemerintah
tersebut menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak milik atas tanah adalah :
a. Bank-bank
yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank Negara);
b. Perkumpulan-perkumpulan
koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-undang Nomor 79 tahun
1958 (Lembaran Negara 1958 Nomor 139)
c. Badan-badan
keagamaan yang ditunjuk oleh Mentri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Mentri
Agama;
d. Badan-badan
sosial yang ditunjuk oleh Mentri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Mentri
Kesejahteraan Sosial
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, jelaslah bahwa desa
pakraman tidak termasuk sebagai subjek hukum yang dapat mempunyai hak milik
atas tanah.
Dalam Perda Provinsi Bali nomor 4 tahun 2019, Desa
Adat berstatus sebagai subyek hukum dalam sistem pemerintahan Provinsi Bali.
Unsur pokok Desa Adat terdiri atas Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan yang merupakan perwujudan dari filosofi Tri Hita
Karana. Palemahan Desa Adat meliputi tanah milik Desa Adat dan tanah guna kaya
yang bersifat komunal atau individual. Tanah Desa Adat memiliki fungsi adat,
keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi. Tanah guna kaya memiliki fungsi adat,
keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi bagi pemiliknya dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial hak atas tanah.
Tanah adat di Bali disebut dengan
istilah Padruwen Desa Adat. Berkaitan dengan tanah druwe desa kalau
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia berati “tanah milik desa” yaitu “tanah
milik desa adat”. Tanah milik Desa Adat didaftarkan
atas nama Desa Adat. Padruwen Desa
Adat meliputi seluruh harta kekayaan milik Desa Adat baik yang bersifat
inmateriil maupun materiil. Padruwen Desa Adat yang bersifat inmateriil berupa
sistem kepercayaan, nilai-nilai tradisi, adat, seni dan budaya, serta kearifan
lokal yang dijiwai Agama Hindu. Sedangkan Padruwen Desa Adat yang bersifat
materiil dapat berupa:
a.
wewidangan Desa
Adat;
b.
tanah Desa Adat;
c.
sumber daya
alam;
d.
sumber ekonomi
yang merupakan hak tradisional Desa Adat;
e.
kawasan suci,
tempat suci, bangunan suci milik Desa Adat;
f.
bangunan-bangunan
milik Desa Adat;
g.
benda-benda yang
bersifat religius magis;
h.
keuangan dan
sarwa mulé; dan
i.
harta kekayaan
materiil lainnya.
Perubahan status hak dan fungsi atas
tanah Desa Adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan melalui Paruman Desa
Adat/Banjar Adat bersangkutan. Perubahan status sebagaimana dimaksud, didaftarkan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tanah-tanah adat di Bali, sebagaimana disebutkan diatas adalah tanah milik
kesatuan masyarakat hukum adat, krama desa ( anggota masyarakat desa) dengan kewajiban
ngayah desa termasuk semua kewajiban terhadap Kahyangan Desa, ataupun tanah
desa adat yang dikuasai langsung oleh desa adat.
Pengakuan tanah adat sebagai tanah ulayat desa di
Bali, dalam UUPA lebih tegas lagi dapat dilihat dalam Pasal II Ketentuanketentuan
Konversi yang menyebutkan:
2.
Hak-hak atas
tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak-hak yang dimaksud
dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai yang dibawah,
yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu: hak agraris eigendom,
milik yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand
Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erpacht, hak usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang itu menjadi
hak milik tersebut dalam Pasal 20 ayat 1 kecuali yang mempunyai tidak memenuhi
syarat sebagaimana tersebut dalam Pasal 21.
3.
Hak-hak tersebut
dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarganegaran
Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau badan hukum yang tidak ditunjuk
oleh pemerintah sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat 2 menjadi hak
guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya sebagai yang akan ditegaskan
lebih lanjut oleh Menteri Agraris.
2.3
Penyelesaian Sengketa
A. Teori Konflik
Sebagian
besar sengketa mau tidak mau harus dimohonkan penyelesaian melalui lembaga
peradilan bentukan negara apalagi dalam pelaksanaan putusannya akan dikawal oleh
lembaga kepolisian, sehingga tampaknya lebih dapat memenuhi rasa kepastian
hukum. Berbeda dengan putusan Kepala adat yang hanya mempunyai daya berlaku
mengikat secara lokal, yang kadang-kadang tidak disertai dengan adanya kekuatan
hukum yang pasti terhadap pelaksanaannya, karena tidak mempunyai pengawal yang
kuat dan tangguh seperti halnya dengan peradilan negara, karena semuanya itu
dikembalikan kepada komitmen dari warga masyarakat itu sendiri terutama pada
rasa keadilannya.
Soerjono Soekanto menegaskan, bahwa terdapat teori
model konflik bagi suatu masyarakat, yaitu model konflik yang memiliki anggapan
dasar seperti:
1.
Ciri yang
melekat pada setiap masyarakat adalah proses perubahan;
2.
Pada setiap
masyarakat terdapat konflik dan hal tersebut merupakan gejala yang wajar.
3.
Pada setiap
bagian dari masyarakat terdapat peluang untuk terjadinya disintegrasi da
perubahan-perubahan sosial.
4.
Adanya sejumlah
orang yang mempunyai kekuasaan merupakan faktor integrasi yang penting.
5.
Pengendalian
konflik dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial tertentu yang berfungsi untuk
menciptakan akomodasi[2]
Dalam
konflik ( conflict ) mengandung adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara
para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama, sehingga
timbul rasa tidak puas atau menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Jika
rasa tidak puas ini secara langsung dinyatakan kepada orang yang menyebabkan
kerugian, maka sebuah konflik akan menjadi sengketa. Jadi konflik akan
berkembang menjadi sengketa jika tidak dapat diselesaikan
B. Penyelesaian
Sengketa Melalui Pengadilan
Pada
dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai opsi dalam memilih prosedur,
lembaga dan model penyelesaian mengenai sengketanya. Salah satu lembaga yang
secara formal dianggap paling representatif dapat menyelesaikan suatu sengketa
adalah lembaga pengadilan, baik yang ada dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan tata usaha negara, peradilan meliter,
peradilan agama, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Demikian ditegaskan
dalam Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pemilihan
peradilan negara sebagai lembaga formal tampaknya juga dipengaruhi oleh adanya
penghapusan peradilan adat yang dulu pernah ada di seluruh masyarakat hukum adat di Indonesia
berdasarkan UU Darurat diungkapkan David F. Greenberg: “Downward law is greater
than upward law”. Dari kondisi ini banyak orang merasa prihatin jika dihadapkan
dengan sengketa yang ditangani lembaga peradilan karena mereka meragukan apakah
akan mampu mendapat kepastian dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum itu
sendiri[3]
C. Penyelesaian
Sengketa di Luar Pengadilan
Studi
tentang alternatif penyelesaian sengketa atau yang sering dikenal dengan
alternative dispute resolution (yang selanjutnya disingkat ADR) di Indonesia dianggap menarik dan penting jika dikaitkan dengan pandangan
kelompok elite politik bangsa Indonesia dan pemikiran sebagian pakar hukum
Indonesia yang ingin mengaktualisasikan berbagai institusi atau nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat hukum adat untuk menjawab berbagai persoalan
kemasyarakatan bangsa Indonesia masa kini. Musyawarah untuk mencapai mufakat
merupakan proses penyelesaian sengketa dan pengambilan Keputusan yang dianggap
berakar pada berbagai masyarakat hukum adat[4]
Di
Indonesia gaya prosedur penyelesaian sengketa ini kemudian diberi bentuk hukum
melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
D. Penyelesaian
Sengketa Secara Konkret
Penyelesaian
sengketa yang melibatkan masyarakat hukum adat, di samping dipergunakannya
salah satu alternatif penyelesaian sengketa seperti tersebut di atas, maka ada
hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu dengan selalu memperhatikan sifat konkret
dari hukum adat itu sendiri. Artinya hukum adat sangat memperhatikan setiap
persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap
soal tidak sama dengan soal yang lainnya sekalipun serupa. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus sesuai dengan individualisasinya
tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara apriori, akan tetapi selalu
situasional dan individual.[5]
Model penyelesaian sengketa ini perlu diungkapkan,
dengan mengingat, bahwa masyarakat hukum adat saat ini dalam menyelesaikan masalahnya
cenderung mengabaikan kearifan lokal yang ada, namun justru lebih memilih model
litigasi yang membawa konsekuensi munculnya rasa permusuhan karena ada unsur
kalah menang yang dikemas untuk mencari keadilan.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Tanah adat di Bali disebut dengan
istilah Padruwen Desa Adat. Berkaitan dengan tanah druwe desa kalau
diterjemahkan kedalam bahasa indonesia berati “tanah milik desa” yaitu “tanah
milik desa adat”. Tanah milik Desa Adat didaftarkan
atas nama Desa Adat. Perubahan status
hak dan fungsi atas tanah Desa Adat harus dilakukan berdasarkan kesepakatan
melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan. Perubahan status
sebagaimana dimaksud, didaftarkan sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan. bahwa tanah-tanah adat di Bali, sebagaimana disebutkan
diatas adalah tanah milik kesatuan masyarakat hukum adat, krama desa ( anggota
masyarakat desa) dengan kewajiban ngayah desa termasuk semua kewajiban terhadap
Kahyangan Desa, ataupun tanah Desa Adat yang dikuasai langsung oleh Desa Adat.
Penyelesaian suatu sengketa dilakukan
dengan 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan, Pada dasarnya para pihak
yang bersengketa mempunyai opsi dalam memilih prosedur, lembaga dan model
penyelesaian mengenai sengketanya. 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Di Indonesia gaya prosedur penyelesaian sengketa ini kemudian diberi bentuk
hukum melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. 3. Penyelesaian Sengketa Secara Konkret, meto
penyelesaian sengketa ini yaitu, Penyelesaian sengketa yang melibatkan
masyarakat hukum adat, di samping dipergunakannya salah satu alternatif
penyelesaian sengketa seperti tersebut di atas, maka ada hal yang tidak boleh
dilupakan, yaitu dengan selalu memperhatikan sifat konkret dari hukum adat itu
sendiri.
Saran
Walaupun
akhirnya hak penguasaan desa adat bersumber pada hak bangsa, tidak harus
diinterpretasikan bahwa hukum negara adalah superior tapi tetap dalam harmoni
dan berkoeksistensi untuk dapat saling melengkapi, sehingga hak penguasaan desa
adat masih dapat dilakukan terhadap tanah-tanah adat dalam wilayah kekuasaannya
seperti yang di suratkan dalam awig-awig-nya dan selanjutnya dapat diberikan
tempat (dicari padanannya) dalam UUPA
DAFTAR PUSAKA
Suasthawa Dharmayuda., I Made,
2001, Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Bali di Propinsi Bali,
Upada Sastra, Cetakan Pertama, Denpasar
Satjipto Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Alumni.
Bandung.
Putu Wirata Dwikora. 2003. Peradilan Dagelan,
Catatan Hasil Eksaminasi Publik dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa.
David F. Greenberg. 1983. “Donald Black’s Sociology
of Law: A Critique”. Law and Society Review. 17 (2). P. 357
Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Jakarta.
H. Moh. Koesnoe. 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu
Model Hukum. Bagian I (Historis), Cetakan I, Penerbit Mandar Maju.
Bandung.
Boedi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia,
Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah,
Djambatan, Jakarta;
[1] Satjipto
Rahardjo. 1982. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung. Hal. 104
[2]
Putu Wirata Dwikora. 2003. Peradilan Dagelan, Catatan Hasil Eksaminasi Publik
dalam Perkara Korupsi Yayasan Bali Dwipa.
[3] David
F. Greenberg. 1983. “Donald Black’s Sociology of Law: A Critique”. Law and
Society Review. 17 (2). P. 357
[4] Hadimulyo.
1997. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan Pertama. Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM). Jakarta. hal. xiii.
[5] H.
Moh. Koesnoe. 1992. Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum. Bagian I (Historis),
Cetakan I, Penerbit Mandar Maju. Bandung.
hal. 10-11
Jackpot City Hotel and Casino - JamBase
ReplyDeleteBook Jackpot City Hotel and Casino & Save BIG on 경기도 출장마사지 Your 세종특별자치 출장마사지 Next Stay! Compare Reviews, Photos, & 의정부 출장마사지 Availability w/ Travelocity. Start Saving Today! 창원 출장마사지 Rating: 4.6 · 평택 출장안마 7 reviews